Lamongan,warnakota.com
Munculnya kembali wacana pemilihan kepala daerah tersebut merupakan manifestasi dari keprihatinan semakin banyaknya kepala daerah yang ditangkap KPK karena terlibat korupsi, bahkan di antaranya ada petahana calon kepala daerah yang akan ikut berlaga di Pilkada Serentak 2018.
Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) yang mencoba kembali menggulirkan wacana pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD, wacana itu telah disampaikan Bamsoet kepada Komisi II DPR untuk dikaji ulang dan Dia juga sudah meminta pemerintah untuk mengkaji ulang kembali usulan pemilihan kepala daerah melalui DPRD dan usul Bamsoet tersebut juga diamini Ketua MPR Zulkifli Hasan. Mahalnya ongkos Pilkada yang kemudian mendorong kepala daerah yang jadi melakukan praktik-praktik korupsi guna menutupi biaya yang telah dikeluarkan. Artinya praktik politik transaksional menjadi sesuatu yang lumrah terjadi di pilkada karena dibutuhkan anggaran yang besar. Dan itu sudah pasti tidak akan cukup bila hanya bersumber dari gaji kepala daerah yang sah saja. Hal lain yang menjadi pertimbangan kenapa harus dikembalikan ke DPRD karena praktik penyelenggaraan pilkada selama ini tidak ada yang tak menuai masalah dalam setiap tahapannya. Bahkan ada nyawa yang melayang, termasuk terjadinya fregmentasi sosial di tengah-tengah masyarakat karena pilihan yang berbeda. Belum lagi menguatnya masalah SARA yang mengancam integrasi NKRI.
Dengan dipindahkannya proses pemilihan kepala daerah ke DPRD sudah pasti biaya yang dibutuhkan juga akan berkurang karena tidak diperlukan lagi biaya bagi penyelenggara, baik itu untuk KPU/Bawaslu dan jajarannya. Demikian juga biaya pengamanan yang jumahnya tidak sedikit, termasuk biaya pasangan calon yang harus keluar untuk membeli APK, kaos dan macam kebutuhan pra dan pasca Pilkada. Tentunya Pilkada dan pemilihan lewat DPRD sudah pasti ada plus minusnya. Adapun di dalam UUD 1945, Pasal 18 ayat 4 disebutkan : “Gubernur, Bupati, dan Wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis.” Jadi tidak ada kalimat yang menyebut pilkada harus dilaksanakan secara langsung, tetapi yang ada dipilih secara demokratis.
Dengan demikian sah – sah saja dikembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD bila itu menjadi solusi alternatif dari mahalnya ongkos pilkada. Dan tentu saja jumlah kepala daerah yang menjadi tersangka karena kasus korupsi akan bisa berkurang karena relatif mudah mengawasi terjadi transaksi politik bila terjadi antara kepala daerah dan anggota DPRD. Selama ini memang banyak yang tidak masuk akal dengan penyelenggaraan pilkada yang berbiaya besar itu. Sebagai contoh untuk saksi di TPS paling murah dibayar Rp.100 – 200. Silakan kalikan dengan berapa banyak TPS di daerah pemilihan. Dari mana dapat duitnya kalau bukan dari sumber-sumber yang tak jelas dan kalau ada yang menyumbang juga tak jelas dari mana dan berapa banyak, meskipun sudah ada ketentuan besar sumbangan yang dibolehkan.
Sedangkan bagi pihak yang tidak pro pemilihan kepala daerah lewat DPRD menyebut itu pilihan yang salah, sebagai kemunduran demokrasi Indonesia yang berpotensi mengembalikan demokrasi ke model Orde Baru. Disamping itu peluang terjadi persekongkolan antara legislatif dan eksekutif dalam proses pemilihan kepala daerah akan lebih terbuka. Disebut juga tidak ada garansi pemilihan lewat DPRD akan memperbaiki kualitas demokrasi.
Demikian juga dengan penghematan biaya dan berkurangnya kepala daerah yang tersandung kasus korupsi bila pemilihan dilakukan lewat DPRD. Alasan sepanjamg watak dan perilaku partai politik dan aktor politik belum berubah, maka sulit menghapus jejak korupsi *dra